Jawaban :
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Yang namanya menyogok, tentu saja haram hukumnya. Sebab perbuatan
menyogok atau suap itu melecehkan keadilan, menghinakan profesionalisme,
dan mencederai rasa kebersamaan.
Maka semua pihak pasti sepakat
bahwa menyogok untuk jadi PNS, apapun istilah penghalusan yang
digunakan, tetap saja hukumnya haram. Ada begitu banyak ayat dan hadits
yang bisa dituliskan dengan panjang dan berderet-deret memenuhi halaman
ini.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (QS Al Maidah 42).
Kalimat 'akkaaluna lissuhti' secara umum memang sering diterjemahkan
dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama
tadi adalah memakan harta hasil suap atau risywah. Jadi risywah (suap
menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.
وَلاَ تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS Al Baqarah 188)
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan
suap dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini :
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ " وَالرَّائِشَ
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah kecuali an-Nasa'i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ - وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ - وَالرَّائِشَ
Rasulullah SAW melaknat penyuap, yang menerima suap dan perantaranya (HR Ahmad)
Maka
kita tidak lagi mempermasalahkan hukum sogok menyogok disini, karena
sudah disepakati keharamannya. Yang kita masalahkan adalah : apakah
sepanjang umur si PNS itu bisa dikatakan makan gaji yang haram, hanya
gara-gara dulu sewaktu penerimaan CPNS, dia sempat menyogok? Apakah si
PNS itu harus memutuskan keluar dan berhenti, agar bisa makan harta yang
halal?
Inilah yang menjadi masalah dimana kita dituntut untuk
bersikap adil dan realistis. Kita tidak boleh dengan seenaknya main
jatuhkan vonis haram atas gaji mereka, hanya karena kita merasa kesal
dengan kebobrokan sistem dan kerusakan sikap mental. Semua harus
dipertimbangkan masak-masak.
Kita Butuh Undang-undang, Bukan Sekedar Fatwa
Satu lagi, fatwa haramnya gaji buat PNS yang menyogok atau kinerjanya
kurang baik, tentu tidak bisa hanya dikeluarkan oleh satu pihak. Fatwa
itu harus dijadikan sebuah undang-undang dulu, sehingga punya kekuatan
hukum yang tetap.
Saya percaya 100% bahwa fatwa haramnya gaji PNS yang menyogok, kalau
pun ada yang berfatwa demikian, tidak akan mengubah apa pun. Sebab
kedudukan fatwa itu amat rendah, bisa didengar kalau mau, tetapi bisa
saja diabaikan dan dibuang seenaknya.
Kalau pun mau ditegakkan, maka yang kita butuhkan adalah
undang-undang yang resmi, sah dan mengikat kepada semua pihak. Sehingga
nantinya kalau terbukti seorang PNS menyogok atau berkinerja kurang
baik, bisa dengan mudah diberhentikan. Dan pemberhentiannya didasarkan
pada undang-undang yang sah.
Banyak Konsenkuensi Yang Harus Ditanggung
Kalau kita dengan sewenang-wenang mengeluarkan fatwa dan vonis bahwa
gaji yang diterima PNS itu haram, sementara para PNS tetap saja menjadi
PNS dan menerima gaji, maka akan ada banyak konsekuensi yang harus kita
tanggung dan juga harus kita pikirkan.
Kalau gaji PNS difatwakan haram, konsekuensinya berarti istrinya
haram menerima nafkah dari suaminya. Karena uang yang dipakai untuk
menafkahi adalah uang haram.
Dan kalau istri tidak menerima nafkah dari suaminya lantaran haram,
pernikahan mereka bisa berujung kepada perceraian. Sebab seringkali
pengantin pria membaca shighat ta'liq, bahwa kalau dalam sekian waktu
tidak memberi nafkah kepada istrinya dan bla bla, maka jatuh lah talak
satu.
Demikian juga yang berlaku pada anak-anaknya. Kalau gaji ayah mereka
yang PNS itu difatwakan haram, berarti anak-anak itu tidak boleh
menerima uang dan biaya hidup serta makan dari ayah mereka. Sebab
terlanjur harta yang diberikan oleh ayahnya termasuk harta haram juga.
Kalau anak-anak yang tidak tahu dosa itu diberi makan oleh ayahnya
dengan uang gaji yang kita vonis sebagai haram, maka konsekuensinya
berarti darah dan daging yang tumbuh pada tubuh tubuh anak-anak itu juga
haram. Karena bersumber dari gaji yang haram.
Lebih parahnya lagi, kalau PNS itu berbelanja dan melakukan transaksi
jual-beli, maka hukum jual-belinya itu tidak sah secara syariah. Sebab
uang yang dipakai itu pastinya dari gaji yang terlanjur kita vonis
haram, maka hukumnya ikut jadi haram. Semua barang, makanan, minuman,
bahkan rumah dan seterusnya, yang dibeli pakai uang dari gaji itu mau
tidak mau harus jadi haram hukumnya.
Bayar listrik, air minum, gas, cicilan kendaraan dan semuanya juga
tidak sah, karena gajinya bersumber dari harta yang telah 'divonis'
sebagai gaji yang haram.
Bahkan lebih parahnya lagi, kalau PNS itu mengeluarkan zakat, infak
atau sedekah, semuanya tidak sah dan tidak mendatangkan pahala.
Lagi-lagi sebabnya karena semua itu pakai uang haram.
Maka kita harus lebih berhati-hati untuk mengeluarkan vonis haram
atas gaji PNS. Tidak mentang-mentang waktu masuknya lewat jalur sogok
menyogok, lantas kita dengan seenaknya berfatwa atas keharaman gaji yang
diterimanya.
Ketidak-layakan Jadi PNS
Kalau
halal haramnya gaji PNS ditetapkan berdasarkan layak atau tidak
layaknya seseorang menjadi PNS, maka konsekuensinya juga harus kita
pertimbangkan matang-matang.
Sebab nanti akan ada banyak sekali PNS yang makan gaji haram. Kenapa?
Karena dalam kenyataannya, kita temukan memang banyak sekali PNS yang
berperilaku tidak layak, atau setidak-tidaknya kurang layak untuk
menjadi pelayan masyarakat. Meski pun tentu tidak semua PNS seperti itu.
Namun kalau secara serampangan kita fatwakan bahwa PNS yang tidak
layak itu diharamkan dari memakan gaji, pasti akan muncul gelombang
protes yang amat besar.
Berapa banyak para PNS yang sebenarnya
kurang layak itu untuk menjadi pelayan masyarakat. Meski sudah ada mesin
absensi di tiap kantor, sehingga yang telat akan dipotong gajinya,
namun biar bagaimana pun yang namanya otak manusia pasti lebih pintar
dari mesin.
Di berbagai instansi pemerintahan kita masih sering menyaksikan para
PNS yang pagi-pagi jam 07.00 datang ke kantor sekedar untuk mengisi
absen, setelah itu pulang lagi ke rumah atau ke kost-nya untuk
meneruskan tidur. Baru kembali ke kantor nanti menjelang makan siang,
lalu keluar kantor kelayapan entah kemana. Sore hari menjelang absen,
sudah rapi berjajar di depan mesin absen. Itu pemandangan sehari-hari
yang saya saksikan dengan dua bola mata saya ini.
Lagi-lagi ini bukan kelakuan semua PNS. PNS yang rajin dan kinerjanya
baik jumlahnya pasti lebih banyak. Kalau pun ada yang seperti itu,
tentu hanya oknum saja. Namun tetap saja kita amat menyayangkan kinerja
PNS yang seperti itu. Sudah dapat gaji besar, tetapi kerjaannya tidak
jelas. Ada istilah 'mandor kawat, kerja kendor tetapi makannya kuat.
Dan ketidak-layakan itu bukan hanya sebatas pada PNS saja, justru
para pejabat yang jadi atasan mereka malah lebih parah lagi. Kalau
dihitung-hitung, para pejabatnya malah lebih sangat tidak layak untuk
memanggul amanah dari rakyat. Cuma karena mereka punya koneksi, bisa
kasih upeti, maka dengan mudahnya jabatan itu 'dibeli'.
Kalau
kita fatwakan bahwa pejabat yang tidak cakap dan tidak layak itu gajinya
haram, akan muncul konsekuensi yang panjang juga. Dan sudah bisa
dipastikan akan muncul gelombang protes yang lebih besar lagi.
Perbaikan Harus Dipastikan Berjalan
Namun saya setuju, dalam tataran masyarakat yang sudah maju dan tata
kelola negara yang sudah ideal, ke depan nanti seharusnya kita
tingkatkan kualitas pada PNS dan pejabatnya. Nantinya harus ada semacam
standar penilaian yang profesional dan proporsional bagi para PNS dan
pejabat. Mereka yang kita percaya untuk menjadi 'pelayan' seharusnya
tidak berubah jadi 'penguasa'.
Dan kalau dari penilaian yang
berjalan sepanjang waktu itu, ternyata 'rapot' mereka banyak merahnya,
terpaksa tidak naik kelas. Dan bisa saja ke depan diusulkan, bahwa PNS
atau pejabat yang tidak layak itu, bisa dikurangi gajinya, dibatasi
fasilitas yang menjadi haknya, dan seterusnya. Bahkan seharusnya ada
mekanisme pemecatan yang dijalankan dengan adil dan terbuka.
Semua
itu perlu dipertimbangkan, demi untuk menjaga kualitas pelayanan para
PNS dan pejabatnya kepada rakyat. Dan semua itu merupakan bentuk
pertanggung-jawaban yang realistis, transparan dan masuk akal.
Namun
sayangnya, kita masih harus banyak kecewa dulu untuk hari-hari ini.
Ternyata meski usia reformasi sudah cukup lama, dan sudah bisa
menurunkan seorang Presiden RI yang pernah berkuasa 32 tahun lamanya,
bukan berarti kita bisa dengan mudah mengubah sikap mental para PNS dan
mengubah gaya kinerja para pejabatnya.
Harus ada semacam good-will
dari level kekuasaan yang lebih tinggi untuk masalah ini. Kita tidak
mungkin berharap terlalu jauh agar PNS yang kurang layak itu sadar
dengan sendirinya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc., MA
| Rumah Fiqih Indonesia |
|
0 komentar:
Posting Komentar